Ushul Fiqih
TENTANG USHUL FIQIH
Abu Ubaidah Al Astary
BUAH USHUL FIQIH
Al-Futuhi pernah berkata: “Hendaknya bagi orang yang mempelajari suatu ilmu untuk memiliki gambaran tentangnya dan mengetahui tujuan dan buah yang akan dia petik bila mempelajarinya”. (Mukhtashor at-Tahrir hlm. 8)
Adapun buah dan faedah yang dapat dipetik dari mempelajari ilmu ushul fiqih adalah sebagai berikut:
1. Mampu untuk menerapkan kaidah-kaidah ulama terhadap masalah-masalah kontemporer yang belum ada dalilnya secara jelas.
2. Memahami bahwa Islam releven pada setiap masa dan tempat.
3. Menjaga Fiqih Islami dari kejumudan dan kengawuran hasil dari sumber-sumber baru.
4. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perselisihan ulama.
5. Mengetahui permasalahan fatwa, syarat dan adabnya, serta kaidah dalam berdialog. (Ma’alim Ushul Fiqih, al-Jizani hlm. 23)
MANA DULU?
Para ulama berselish pendapat tentang ilmu yang hendaknya dipelajari terlebih dahulu, apakah Fiqih ataukah Ushul Fiqih?!
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa mempelajari ushul fiqih lebih didahulukan, sebab tidak mungkin kita memahami fiqih kecuali dengan mempelajari ushul dan kaidah-kaidahnya. (Al-Muswaddah hlm. 571, Syarh Kaukab al-Munir 1/47-48)
2. Sebagian lainnya berpendapat bahwa mempelajari fiqih lebih didahulukan, sebab dengan mempelajari fiqih akan kita fahami ushulnya. (Al-Uddah fi Ushul Fiqih 1/70)
Pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa seorang hamba hendaknya menyibukkan diri untuk mempelajari masalah-masalah fiqih yang berkaitan tentang keselamatan dirinya dan melepaskan tanggungannya berupa hukum-hukum bersuci, sholat, puasa dan selainnya, kemudian setelah itu dia memulai dengan pondasi dan kaidah-kaidah dasar dalam belajar. (At-Tahqiqot ‘ala Matanil Waroqot, Syaikh Masyhur Hasan hlm. 18)
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Inilah yang diperaktekkan oleh kaum muslimin semenjak dahulu, sampai-sampai ada sebagian masayikh -seperti yang kami dengar- dia mempelajari fiqih dan tidak mempelajari ushul fiqih sama sekali”. (Syarh Nadhmul Waroqot hlm. 16)
MENGKRITISI KITAB
Syaikh Abdur Rahman bin Yahya al-Mua’llimi berkata: “Kesimpulan yang dapat saya petik setelah membaca kitab-kitab ushul fiqih, saya dapati bahwa kitab-kitab yang berkaitan tentang hal ini menjadi dua model:
Pertama: Kitab-kitab al-Ghozali dan orang setelahnya.
Model ini telah banyak tercampur dengan pembahasan ilmu kalam/filsafat. Sekalipun saya tidak merasa sukar untuk memahami ilmu ini tetapi hati saya tidak tertarik untuk menggelutinya.
Kedua: Sebagian kitab-kitab ringkasan seperti al-Luma’ oleh Syaikh Abu Ishaq dan al-Waroqot oleh al-Juwaini.
Model ini sangat ringkas sekali, dan tidak lepas dari kekurangan dan kesukaran. (Risalah fi Ushul Fiqih, sebagaimana dalam Rosail al-Mu’allimi hlm. 47)
Sebagai gantinya, hendaknya diketahui bahwa kitab ushul fiqih tidak akan membuahkan buah yang istimewa kecuali apabila memenuhi beberapa kriteria berikut:
1. Bahasanya mudah difahami
2. Ringkas, tidak terlalu tebal apalagi berijilid-jilid
3. Mencakup semua pembahasan
4. Membuang pembahasan-pembahasan yang kurang penting. (Tahqiqul Wushul ila Ilmi Ushul, Murod Syukri hlm. 6-7)
APA ITU MAKRUH?
Makruh secara bahasa adalah setiap yang dibenci. Allah berfirman:
Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, Maka Allah melemahkan keinginan mereka. (QS. At-Taubah: 46)
Ketahuilah bahwa lafadz “makruh” menurut Al-Qur’an dan Sunnah serta lisan salaf maksudnya adalah haram, bukan seperti istilah orang-orang belakangan yaitu larangan yang bila ditinggalkan dapat pahala dan bila dikerjakan maka tidak berdosa. Hal itu sesuai dengan defenisi secara bahasa, karena haram juga dibenci oleh Allah dan rasulNya. Allah berfirman setelah menyebutkan hal-hal yang diharamkan:
Semua itu kejahatannya Amat dibenci di sisi Tuhanmu. (QS. Al-Isra’: 38)
Dalam hadits shohih, Nabi juga bersabda:
إِنَّ اللهَ كَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
Sesungguhnya Allah membenci bagi kalian kabar burung, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.
Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah berkata: “Kebanyakan orang belakangan salah dalam memahami maksud ucapan para imam empat madzhab yang mereka ikuti disebabkan para imam tersebut wara’ (berhati-hati) dalam mengucapkan haram sehingga menyebutnya dengan lafadz makruh, lantas orang-orang belakangan memahami lafadz makruh yang mereka ucapkan bukan bermakna haram”. (I’lamul Muwaqqi’in 2/75)
KHUSUS TUK NABI?
Ketahuilah bahwa khithob (pembicaraan) untuk Nabi terbagi menjadi tiga macam:
1. Khusus untuk beliau, karena ada dalilnya
2. Umum untuk beliau dan umatnya, karena ada dalilnya
3. Ada kemungkinan umum atau khusus. Hal ini diperselisihkan ulama; ada yang mengatakan umum dan ada yang mengatakan khusus untuk Nabi. Pendapat yang benar adalah umum karena Nabi adalah uswah (suri tauladan) bagi umatnya. (Tafsir Surat al-Kahfi, Syaikh Ibnu Utsaimin hlm. 56)
Syaikhul Islam berkata: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa Allah apabila memerintahkan atau melarang Nabi akan sesuatu maka hal itu juga mencakup umatnya selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu khusus bagi beliau”. (Majmu Fatawa 22/322)
Dalilnya adalah firman Allah:
Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. (QS. Al-Ahzab: 50
FirmanNya: “Sebagai pengkhususan bagi kamu ” menunjukkan bahwa pada asalnya adalah mencakup umatnya juga, karena kalau bukan demikian maka penyebutan pengkhususan di sini tidak ada faedahnaya. (Ushul as-Sarokhsi 2/89).
NASIKH MANSUKH
Ibnul Jauzi mengeluarkan dalam Nasikhul Qur’an wa Mansukhuhu hlm. 125-126 dengan sanad shohih dari Abu Abdir Rohman as-Sulami bahwasanya Ali bin Abi Thalib pernah melewati seorang qodhi (hakim), lantas beliau bertanya kepadanya: Apakah engkau mengetahui tentang ilmu nasikh dan mansukh? Jawabnya: Tidak. Jawab Ali selanjutnya: “Engkau binasa dan membinasakan orang lain!!”.
KONTRADIKSI DALIL
Imam Syafi’I berkata: “Tidak mungkin sunnah Nabi menyelisihi kitabullah sama sekali”. (Ar-Risalah hal. 546),
Imam Ibnu Khuzaimah juga mengatakan: “Tidak ada dua hadits shahih yang bertentangan dari segala segi. Barangsiapa yang mendapatinya, hendaknya dia mendatangkannya padaku, niscaya akan aku padukan antara keduanya”. (Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah, al-Khothib al-Baghdadi hlm. 1316)
BERATNYA FATWA
Imam Malik berkata: Ada seorang bercerita padaku bahwa dia pernah masuk kepada Robi’ah yang sedang menangis. Dia bertanya: Apa yang membuat anda menangis?! Apakah ada musibah menimpa dirimu?! Robi’ah menjawab: Tidak, namun karena seorang yang tidak berilmu dimintai fatwa!!
Ibnu Sholah berkomentar: “Semoga Allah merahmati Robi’ah, bagaimana seandainya beliau mendapati zaman kita?! Laa Haula Walaa Quwwata Illa Billahi. Hanya kepada Allah kita mengadu dan Dia adalah sebaik-baik penolong. (Adabul Mufti wal Mustafti hlm. 85)
Ibnul Jauzi berkata: “Ini adalah ucapan Robi’ah padahal waktu itu para tabi’in masih banyak jumlahnya, lantas bagaimana kiranya kalau dia melihat zaman kita?1 Sesungguhnya yang berani berfatwa adalah orang yang tidak berilmu karena kurangnya agama. (Ta’zhimul Fatwa hlm. 113)
IJMA’ HARUS BERDALIL
Al-Amidi berkata dalam al-Ihkam 1/374: “Semua bersepakat bahwa umat tidak akan bersepakat terhadap suatu hukum melainkan berlandaskan pada pedoman dan dalil”.
Namun, kadang kita jumpai sebagian ulama hanya menyebutkan dalil ijma’ saja padahal ada dalilnya dari Al-Qur’an dan hadits. Hal itu karena beberapa alasan:
1. Untuk meringkas, karena semua ijma’ pasti berlandaskan dalil
2. Mungkin dia tidak ingat dalilnya
3. Mungkin dalil tersebut masih dipertanyakan baik keshohihannya atau segi pendalilannya.
QIYAS
Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi berkata: “Ketahuilah bahwa atasar-atsar yang datang dari sahabat berisi tentang jeleknya ro’yu (pendapat) serta peringatan keras darinya, maksud mereka adalah ro’yu (pendapat) yang menyelisihi dalil atau dibangun di atas kejahilan, karena mereka bersepakat untuk beramal dengan pendapat di kala tidak ada nash. (Mudzkkiroh Ushul Fiqh hlm. 383)